Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Aku terlahir dengan dua kakak laki-laki dan seorang kakak
perempuan. Mungkin aku adalah pelengkap dari ganda campuran ini. Keseharianku
bukanlah seperti anak presdir dari perusahaan besar ataupun kembang desa dari
pelosok nusantara. Aku hidup dengan kesederhanaan sebuah keluarga di pinggir kota
Solo, Jawa Tengah. Itulah sedikit autobiografi yang biasa aku tulis dalam riwayat hidupku.
Sejak kecil, aku selalu
tinggal dirumah sendirian ketika orang tuaku sibuk bekerja. Saudara-saudariku
sudah lama meninggalkan rumah. Sebagian dari mereka sudah memiliki keluarga
sendiri, sebagian yang lain pergi untuk mencari nafkah. Aku belum menyadari
betapa kesepiannya hidupku sampai aku mengenal bangku SMP dimana kebanyakan
anak memamerkan keluarganya. Aku iri pada mereka semua, namun aku menyimpannya
dalam hati. Sejak saat itu aku terbiasa menyimpan segala hal hanya dalam hati
dan tak pernah mengungkapkannya. Menurutku, berbicara sama halnya dengan membuang tenaga sia-sia. Itu dulu.
Suatu hari salah satu kakak
laki-lakiku pulang ke tanah Jawa setelah beberapa tahun merantau di negara
seberang. Dia pulang untuk membuat keluarga kecilnya sendiri. Aku baru sadar
kalau aku mempunyai kakak yang wataknya bad
boy, tapi itu tak masalah selama dia bisa mempertanggung jawabkan segala
perbuatannya. Setelah pernikahannya, aku kehilangan sosok seorang kakak
laki-laki. Beberapa tahun sebelumnya, aku juga kehilangan sosok kakak
perempuan. Masa kanak-kanak yang aku ingat hanyalah ketika aku menangis
dilorong rumah karena merindukan keluarga atau malam-malam yang aku lewatkan
sendiri bersama kartun di layar televisi. Terdengar menyedihkan memang, tapi
aku tak menganggap hidupku seburuk itu.
Tahun demi tahun berlalu,
aku tumbuh menjadi seorang gadis pemalu dan tidak pandai berteman. Aku juga
dikenal sebagai gadis yang dingin dan tidak suka tugas kelompok. Jika kalian
bertanya kenapa, aku sendiripun tidak begitu mengetahuinya. Menurutku,
kesendirian akan membuat hidupku lebih mudah, karena tanpa harus peduli dengan
komentar orang lain. Masa SMP dan SMA sama saja, aku lulus dengan predikat baik
namun tidak memiliki teman sekelas ataupun sekolah. Aku terlanjur nyaman dengan
kehidupan tanpa sosialiasasi, tapi aku mempunyai sahabat desa yang umurnya 3
tahun lebih tua dariku. Setiap hari dia membagi ceritanya tanpa sungkan dan
akupun menjadi pendengar yang tulus baginya.
Di tengah-tengah masa
SMAku, saudariku pulang setelah lama menempuh pendidikan sarjananya. Kali ini
sama, dia pulang untuk menjadi bagian dari keluarga barunya. Namun, kisah cinta
saudariku ini tidak sepenuhnya berisi romansa. Ada sedikit haru dan perjuangan
yang selama ini tidak aku tahu. Begitulah dia, seorang wanita yang berusaha
tegar namun selalu membuat orang disekelilingnya khawatir. Jujur saja, aku baru
mengenal sosok saudariku sejak saat itu. Orang yang selalu aku sebut dalam
rengekanku akhirnya muncul secara tiba-tiba. Dia datang penuh dengan rasa kasih
dan lembut, saking baiknya ada saja yang salah paham dengan sikapnya itu.
Kakakku ini walaupun sedikit perhitungan, tapi dia satu-satunya orang yang
mengerti aku. Tidak ada cela sedikitpun yang aku sembunyikan darinya dan tak
ada sebersit keinginanku untuk menyakitinya. Aku hanya berharap kakakku ini
bisa hidup bahagia. Seandainya beban dibenaknya bisa dipecah, maka aku
merelakan bahuku untuknya. Dalam benakku, selalu ada keinginan untuk tumbuh dewasa seperti dia. Namun, suatu saat dia mengatakan bahwa tak ada orang yang sama didunia ini, mungkin serupa tapi tak sepenuhnya sama, daripada aku menjadi orang lain yang dipuji lebih baik menjadi diri sendiri dengan penuh keyakinan diri. Begitulah katanya.
Beberapa tahun kemudian,
kakak sulungku pulang. Kakakku ini pulang dengan wajah sedih dan rasa putus asa yang tak terkira.
Keluarga yang ia banggakan, tiba-tiba hancur karena kecelakaan. Terpaksa aku
dikirim ke rumahnya sebagai pengibur lara dalam hatinya. Hanya satu bulan,
namun rasanya lama sekali bagiku. Ada budaya baru yang membuatku realistis
mengenai kehidupan. Kakakku menerimaku dirumahnya dan mengajarkan banyak hal
mengenai kehidupan. Pengalamanlah yang menjadi tameng besar dalam dirinya
sehingga ia menjadi kuat. Namun aku sadar, dibalik tameng itu adalah kakak yang
harus aku kasihi. Sebenarnya, aku selalu takut pada kakak sulungku ini, namun
tiap kali aku menghempaskan ketakutanku, aku menjadi lebih kuat lagi dalam
menjalani keseharianku.
Disinilah aku sekarang. Aku
tetap tinggal di pinggiran kota bersama orang tuaku yang semakin tua. Aku
menjalani hidupku dengan baik dan tenang. Namun, akan ada suatu waktu dalam
satu hari dimana aku akan melamun dan membayangkan ketiga kakakku. Aku takut
mereka menyembunyikan kesedihannya sendirian, aku takut mereka melupakanku, aku
takut menjadi beban bagi mereka, aku takut tidak akan berguna bagi mereka, aku
takut mereka menderita tanpa satu tetes tangis dariku. Banyak hal yang masih
aku takutkan terjadi pada mereka.
Setiap kali aku rindu pada mereka, akan selalu ada doa diantaranya. Aku masih gadis yang sama, namun aku hidup dengan kenangan kakakku dan bahagia karenanya. Meskipun terlambat, tapi aku berterima kasih pada Allah yang telah memberiku keluarga ini. Kesimpulannya, kebahagiaan tidak selalu hadir dalam keseharian kita, tapi bahagia itu bisa muncul kapanpun ketika kita menghargai kehidupan. Sekian.
Komentar
Posting Komentar