Segar bunga sedap malam menelimuti seluruh permukaan
udara di pemakaman. Aura lembut dan mistis sangat kental didalamnya. Namun
bukan hal itu yang membuatku tidak kuat berada disini. Tetapi karena aku
mengetahui siapa orang yang akan dikubur didalam tanah yang dingin itu. Karena
aku mencintainya maka aku paksakan untuk kemari seperti surat terakhirnya.
Surat yang kutemukan dalam laci yan entah sejak kapan ada disana.
Tubuhku kembali bergetar dan isak
tangisku semakin menjadi ketika ku temukan sebuah gambar dirinya sewaktu hidup
diarak ketengah makam. Dalam gambar itu, ia masih tersenyum. Berapa? Sudah
berapa lama aku tidak melihat senyuman itu? Sudah berapa lama aku meninggalkan
cahaya mata itu? Oh iya, sejak hari itu. Sejak hari itu, Haruka sudah tak
pernah lagi sehangat dulu. Tak sehangat sebelum mengenalku.
Setelah foto itu masuk ke tengah
pemakaman, lalu disusul oleh sebuah peti yang tak mau aku lihat isinya. Kenapa?
Karena aku tahu siapa yang ada didalamya. Sebuah sayap yang telah ku patahkan
dan ku tinggalkan begitu sampai ia tak lagi bergerak. Aku memang gadis jahat
yang telah menyakiti sayap itu dan kini aku juga yang menguburnya sendiri. Aku
ini jahat! Jahat!
Tiba-tiba kurasakan hangat dan
lembut sebuah tangan yang menggapai pundakku. Aku menoleh dan ku temukan wajah
yang tak lagi asing bagiku. Wajah seorang wanita setengah baya yang terlihat
semakin tua dengan kulit keriput dan mata lebab yang menghitam. Seseorang dulu
dipanggil oleh Haruka dengan kata, Ibu. Aku memaksakan senyum kepadanya dan
menguatkan dirinya. Aku tidak tahu dari mana asal tenaga untuk ku mengucapkan
semua hal itu, sedangkan aku sendiri saja masih terisak-isak.
Disela-sela pembicaraanku dengan ibu
Haruka, muncul seorang wajah lagi yang sangat kubenci beberapa bulan ini. Wajah
yang membuatku menolak permintaan tolong Haruka padaku. Seseorang yang bahkan
namanya tak mau aku sebut. Ia menghampiri ibu Haruka dan ibu Haruka membalas
dengan memeluknya. Aneh? Bagaimana bisa ibu Haruka memeluk seseorang yang aku
tidak yakin ia mengenalnya?. “Kyu, bagaimana bisa kakakmu meninggalkan aku
seperti ini? Kenapa ia harus dia yang pergi menyusul ayahmu duluan? Kenapa,
Kyu?”, tanya ibu Haruka histeris dalam pelukkan Kyu.
Apa? Kyu? Kakak? Pergi? Haruka?.
Otakku terus saja menghubungkan semua hal itu menjadi sebuah fakta yang jelas.
Secara tidak sadar, ternyata tanganku sudah mencari tahu semua hal itu sendiri.
Tanpa sengaja, tanganku bergerak kearah ibu Haruka dan menyentuhnya.“Oh, kau belum mengenal Kyu? Kisaragi Kyu.
Dia adalah adik Haruka dan anak terakhirku. Bukankah dia sangat tampan seperti
Haruka? Tapi sayang, sikapnya sangat berlainan dengan Harukaku”, kata ibu
Haruka sambil tersenyum masam mengingat Haruka dan Kyu.
Aku kaget, bingung, marah dan kesal. Mataku membulat
melihat Kyu. Namun sesaat
kemudian aku menyadari hal itu dan meninggalkan mereka begitu saja. Aku berlari
tanpa arah, jauh dari kerumunan para pelayat, Haruka maupun Kyu. Aku mencari
tempat yang sepi dimana aku bisa menangis sepuasku. Pada akhirnya aku menemukan
sebuah pohon untuk kaki bernafas. Aku menangis disana dan kembali menyesali
takdir yang dituliskan hari ini.
Komentar
Posting Komentar