Kakiku jatuh
didepan pintu merah besar dengan tanda buka ditengahnya. Aroma kopi yang kurindukan semerbak disekitar
gedung bernuansa hitam itu. Warna coklat terang yang menembus warna hitam solid
menjadi kolaborasi manis untuk tembok café itu. Ku dorong perlahan pintu merah
itu dan terdengar suara lonceng pelan menandakan kedatangan pelanggan. Aroma
yang tadinya samar serentak memenuhi ruangan bergaya klasik eropa itu.
Diantara
sekian meja yang hampir dipenuhi orang, aku memilih kursi depan yang
bersampingan dengan jendela luar café. Tanpa menunggu lama, seorang pelayan cantik
dengan serbet hitam didepan roknya menanyakan pesananku dengan akrab. Aku
memang pelanggan setia café ini, jadi mudah bagi mereka menebak pesananku.
Pelayan itu berlalu dan membiarkan aku kembali menikmati sore yang beranjak
gelap. Pikirku melayang.
“Hayo… kamu
sedang memikirkan aku ya”. Terdengar suara sendu dan berat sembari
menghentakkan pundakku pelan. Suara ini pasti milik Glenn. Aku memutar kepalaku
untuk melihat wajahnya. Muncul sepasang bola mata yang tertutupi kaca mata
coklat memperindah hidung mancungnya. Senyuman pria berkulit sawo matang itu
perlahan mengembang sehingga membiarkan gigi putihnya terlihat sedikit. Namun
ada perubahan dari sosok pria ini, tatanan rambutnya yang dibuat sedemikian
rupa berdiri berantakan namun masih nyaman untuk dilihat.
“Ngawur
kamu! Untuk apa memikirkan orang yang sibuk mengkhawatirkan orang lain”,
jawabku setengah mengejek.
“Maksud
kamu, aku? Astaga, mana mungkin aku mengkhawatirkan orang lain jika aku sudah
memiliki malaikat tanpa sayap disini”, balasnya sambil menunjuk letak
jantungnya. Kami tertawa lepas dan bercerita panjang tentang kerinduan kami.
Pelayan itu
kembali dan meletakkan Chocolate mocca didepanku. Aku meniup pelan minuman
favoritku dan semua kembali seperti semula. Aku di café ini, sendiri. Tanpa ada
dia lagi disisiku. Rasa ini, bisa disebut rindu yang tak layak diberikan pada
mantan.
***
Komentar
Posting Komentar