Gue merupakan tipe cewek yang ngga suka ribet.
Disaat cewek lain berebutan mati-matian di mall demi belanjaan mereka. Gue
lebih suka main basketball di game area. Ketika cewek-cewek itu mulai anarkis
dengan adanya diskon, gue dengan santai menjilati ice cream sambil melihat
pertempuran itu. Tapi gue masih tetap cewek yang suka dengan hal manis, jadi
ngga bisa disebut Tomboy. Apalagi lesbian. NO WAY.
Ada saat dimana gue bersifat ke-cowokan sama
keluarga gue, yaitu mandi sore. Diantara batas ke”tomboy”an dan cewek tulen adalah fase
Malas. Gue paling males kenal yang namanya mandi sore. Terkadang nyokap harus
geleng-geleng kepala ngelihat gue lagi lari-larian keliling kompleks dengan
bokap yang udah bawa gayung + air didalamnya.
Berbagai alasan buat
menghindari mandi sore itu. Mulai dari sakit kepala, demam, cacar, sampai
alergi air. Segala parfumpun udah gue manipulasi supaya mereka percaya kalau gue
udah mandi. Parfum X dengan aroma berbagai merk sabun dan shampoo menjadi
buruan pertama ke pasar malam. Tapi semua Nihil. Nol. Gagal.
“Dev, mandi
sekarang. Keburu sore”, kata bokap lalu berlalu dari ruang tengah dengan suara
aneh dari seng berkarat yang mau dia buang. Gue cuma menggumam sambil membaca
novel didepan TV. Entah sejak kapan gue paling suka baca novel sambil dengerin
iklan di TV. Mungkin gue harus mencoba teknologi terbaru MP3.
“Mandi. Nanti
lupa lagi lho”, kata nyokap. Lalu nyokap perlahan mendekati sofá dan mengelus
rambut gue yang lama tak dikeramasi ini.
Dengan ala slow
motion, gue menoleh ke nyokap. “Iya, ma. Bentar lagi ya”, jawab gue halus. Kemudian
beralih lagi ke majalah zodiak yang gue baca.
“Mandi, nak”,
kata nyokap pasrah. Hening. Gue ngga
menjawab apapun. Lalu nyokap berdiri dan meninggalkan gue sendiri dengan TV
yang dari tadi menyala tanpa tujuan. Sejak saat itu, nyokap ataupun bokap
berseliweran di ruang tengah secara bergantian. Terkadang mereka lewat bersama
sambil menyindir gue dengan kucing tetangga yang tadi siang dimandiin.
Karena mulai
tidak nyaman dengan keadaan yang ada. Gue beralih ke sofá di ruang tamu. Untuk
beberapa saat gue bisa membaca dengan nyaman tanpa gangguan. Tapi redupnya hari
mulai mengundang penyanyi-penyanyi malam ke rumah, Nyamuk.
Diantara
nyamuk-nyamuk yang konser diatas kepala. Gue mendengar suara pintu kamarku
dibuka. Lalu terdengar percakapan di ruang tengah.
“Kayaknya Devy
lagi di kamar mandi”, kata bokap.
“Baguslah kalau
begitu. Lega hati mama, pah”
“Akhirnya, usaha
kita berhasil, mah”
Dengan cekikikan
yang tertahan, gua melanjutkan membaca novel. Tapi lama kelamaan, dan semakin
lama, nyamuk-nyamuk itu membuat konser tunggal di atas kepala gue. Diantara
nyokap dan bokap, nyamuklah yang berhasil membuatku melangkah ke kamar untuk
mengambil handuk.
Kamar mandi di
rumah gue berada di paling belakang, sedangkan kamar gue ada di samping ruang
tamu. Jarak yang tidak sampai 10 meter itulah alasan gue males mandi, karena
banyak ruang yang harus gue lalui untuk sampai ke kamar mandi, terutama ruang
tengah sekaligus ruang keluarga.
Gue melangkah ke
kamar mandi dengan ribuan nyamuk berterbangan dikepala gue. Ketika melewati
ruang tengah, nyokap berkata, “ Mau mandi lagi?”. Gue mengangguk.
“Jarang-jarang mandi dua kali
sehari. Apalagi kurang dari satu jam udah mandi lagi’, kata nyokap bangga. Sebenarnya
gue berharap kata itu sejak dulu. Kata yang memperbolehkan gue untuk ngga mandi
sore. Tapi itu semua udah ngga penting lagi disaat nyamuk udah bernyanyi tanpa
henti.
‘Oia, tolong bawa obat nyamuk
spray nya ke kamar kamu ya. Banyak nyamuk demam berdarah’. Kali ini gue
punya alasan untuk ngga mandi yang perfect. Dan yang penting, Nyamuk Mati.
Mungkin bagi
kalian, aku ini menjijikan. Tapi percayalah, itu semua hanya malas semata.
***
Komentar
Posting Komentar