Aku tengah duduk bersila
ditengah ruangan yang akrab kumasuki. Cat warna biru laut yang terlihat pudar
menandakan umur ruangan ini. Buku-buku tertata rapi di rak yang menempel pada sudut
ruangan. Kasur berataskan kain berwarna hijau mencekung. Di jendela terdapat
dream cacther, hadiah dari sahabatku. Inilah kamarku. Sepi, rapi dan tak ada
yang spesial.
Tatapanku tertuju pada layar handphone yang sudah ketinggalan zaman. Aku
terus melihat pesan terakhir yang ia kirimkan padaku. Pesan sapaan pagi yang
biasa ia kirimkan dengan gambar bunga kecil diujungnya. Dibawah pesan itu
tertera 1 Juni 2015, satu bulan yang lalu. Pesannya masih sama seperti dulu. Aku
yang berubah.
Aku mengingat peristiwa yang terjadi sehari sebelum pesan itu dikirim.
Aku yang dulu penuh kasmaran dan diselimuti rindu padanya tengah berjalan
sambil membawa mie instan untuk persediaan rumah selama seminggu. Jalan yang
kulewati memang bukan jalan raya untuk kendaraan, tapi penuh sesak oleh para
karyawan pabrik disekitar sana. Diperjalan pulang, aku selalu memikirkan
tentangnya. Walaupun aku yakin bahwa dia sedang kuliah sekarang. Anganku
berlarian memberi ansumsi tentang sosoknya. Ratusan kata mesra siap dilontarkan
dari hati yang terus bergetar ini.
Tak sengaja aku ditabrak oleh pria berambut coklat yang memakai mantel
senada dengan rambutnya. Dia menunduk mengambil belanjaanku yang bertebaran
dijalan. Aku mengira dia orang baik sama seperti orang umumnya. Namun pria itu
berlari dan menabrakku sekali lagi. Pria itu pencopet. Aku berteriak meminta
bantuan sambil mengejar pencopet itu. Aku terus berlari sampai aku lupa
segalanya. Beberapa saat kemudian, pria itu sudah digeromboli oleh massa. Salah
seorang dari mereka memberikan dompetku. Syukurlah, aku selamat. Aku berterima
kasih pada semua orang yang membantuku dan berbalik pulang.
Aku melihat pencopet itu sekilas. Terlihat banyak lebam dan darah
diwajahnya. Lukanya juga membiru dan tangannya diborgol oleh polisi. Walaupun
aku merasa kasihan pada pencopet itu, tapi hal yang ia lakukan memang bukan hal
yang baik. Aku menganalisa sekelilingku. Aku mengenali tempat ini,
tapi pencopet itu membuatku berlari terlalu jauh. Kini
aku harus berjalan ke halte terdekat untuk pulang.
Aku berjalan sambil melamunkan keadaanku sendiri. Kalau saja aku
kehilangan dompetku, butuh waktu lama lagi untuk membayar sewa kamar dan hilang
sudah persiapanku selama satu bulan. Aku bersyukur tak ada yang terluka dariku.
Tak terasa, aku sampai di zebracross besar sebelum sampai dihalte yang berada
disebrang jalan. Lampu merah ditengah kota ini terasa sangat lama. Aku
mengalihkan pandanganku ke seberang jalan untuk melihat halte yang akanku
singgahi.
Aku melihat dia diseberang
jalan. Orang itu..
Kekasih yang kukira sedang
sibuk dengan dosen dikampusnya, kini berada tepat didepanku. Dia terlihat sangat
tampan dengan mantel panjang hitam yang kuberi sebagai hadiah natal tahun lalu.
Dia juga tampak gembira. Belum pernah aku melihat senyum segembira itu darinya.
Namun aku harus mengetahui bahwa senyumnya itu bukan karenaku. Senyuman itu
untuk gadis yang ia rangkul sekarang. Gadis itupun membalas senyum
dan mencium wajah pria yang kusegani itu. Mereka
saling tertawa seakan dunia hanya milik mereka. Tatapan pria itupun terlihat
mesra, bahkan dia tak melihat hal yang lain kecuali gadis itu. Hatiku berhenti
saat itu.
Aku membeku. Air mataku jatuh
tanpa harus mengerjapkan mata. Mata ini tahu bahwa pemiliknya menderita. Bahkan tubuh
ini tak bisa lagi diperintah karena lemahnya. Aku tetap berdiri diam disana.
Lama sekali. Ketika lampu berubah hijau, semua orang disekelilingku menjauh dan
mulai berdatang orang dari seberang jalan. Mereka datang. Aku melihat mereka
melewatiku dengan suara tawa mereka yang lepas. Pria itu bahkan tak melihatku.
Lampu berubah merah. Semua orang kembali berbaris dipinggir jalan.
Pandangaku kabur, kemudian semua terlihat gelap. Aku merasakan tanganku
menyentuh aspal. Terdengar ramai orang-orang memanggil ambulan. Setelah itu aku
tak ingat lagi. Saat aku terbangun aku berada di IGD rumah sakit kota. Tak
kusangka aku bisa sepayah ini.
Pengkhianatan terasa seperti racun dalam hidupku. Pria tak
berperasaan itu masih tak sadar akan kesalahannya. Dia bahkan tak tahu bahwa
aku telah menyadari kebusukannya. Aku tahu ini sakit. Sekit sekali. Dalam dada
ini rasanya seperti ditusuk ribuan jarum tiap aku bernafas. Air mataku sudah
kering seminggu yang lalu dan tubuh ini telah lelah berisak tangis. Kini, aku
masih menyukainya. Anehnya rasa ini masih ada dalam memoriku. Tapi rasa benciku
bisa bergejolak hanya dengan memikirkannya. Tubuhku memang lemas namun bisa
mendidih hanya dengan mengingatnya. Aku bagai monster yang tertidur. Aku bisa
mengamuk kapan saja jika diganggu.
Komentar
Posting Komentar