cookieChoices = {}; Ramadhan Pertama Langsung ke konten utama

Ramadhan Pertama



Pemandangan yang diciptakan Allah memang tiada kurang. Setiap kali aku membuka mata, keindahannya justu bertambah. Langit hitam bagaikan kanvas dari lukisan malam Sang Illahi. Bintang – bintang adalah pemeran utama yang siap beradu kecantikan. Walaupun hanya suara jangkrik yang begadang begitu larut, kesan malam pertama Ramadhan tak bisa ditandingi.

Pulang dari rumah Allah dan membaca surat cinta-Nya yang ditujukan pada semua umat adalah hal termanis yang bisa kurasakan. Anehnya, aku yang tadinya penakut, sekarang berjalan ditengah jalan pada larut malam. Entah apa yang membuatku seberani ini. Seakan ada tameng yang akan melindungiku kapanpun. Atau karena aku yakin tak ada lagi musuh yang bisa mengagetkanku dalam ketakutan. Janji-Nya di bulan berkah ini memang ada dan nyata, tapi tak bisa diungkapkan. Tak ada ideologi ataupun filosofi yang bisa menggambarkan rasa kagum dan rinduku pada Sang Pencipta.

Tanpa kusadari, aku telah menggembuskan nafas panjang. Aku kecewa. Andai saja aku bisa mengerti cinta. Cara mencintai Allah dan langkah merindukan Rasulullah. Angankupun tak sampai meski sudah bersujud kepada-Nya. Begitu sulit untuk mengerti Sang Maha Tahu. Rumit. Tapi Allah tak segan untuk menuntunku.

Terkadang aku menangis karena merasa kotor. Penuh dosa. Aku meminta kepada-Nya. Lalu Allah menjawabnya dengan isyarat manis. Tapi aku lupa. Ketika doa itu tersampaikan, aku lupa berterima kasih. Sebegitu sombongkah aku? Aku hanya manusia. Tidak lebih.

Bulan lalu, malam terasa sangat membosankan. Sekarang, tak sedetikpun aku lewatkan untuk menarik perhatian-Nya. Aku memang gadis manja. Bahkan kasih sayang Allahpun tak ingin aku bagi. Setiap adzan seperti panggilan sayang dari-Nya. Ketika berpuasa, rasanya seperti Allah ada disampingku untuk menguatkanku. ‘Kamu pasti bisa. Sebentar lagi. Sebentar lagi’, ucapku sendiri.

Aku harap bisa hidup di bulan suci ini selamanya. Aku ingin selangkah lebih dekat lagi pada Allah SWT.

Komentar