cookieChoices = {}; Cerpen Bersambung : Paris Langsung ke konten utama

Cerpen Bersambung : Paris




Aku tiba sepuluh menit lebih awal di Beaumarchais Boulangrie. Restoran ini tipikal kebanyakan toko pastry dan bakery dengan beberapa kursi di samping untuk duduk para pelanggan. Aroma roti-roti hangat menyerbak diseluruh ruangan, nuansa hijau toska dengan hiasan gambar mawar-mawar merah. Sudah lama aku tidak menikmati baguette didalam keranjang-keranjang rotan. Lucie tidak salah merekomendasikan tempat ini untukku bertemu seseorang yang special, tapi aku malah mengajak orang itu.

Aku sangat menikmati Vienna bread dan baguette, tapi aku malah merindukan ibuku. Masakan ibu jauh lebih lezat dari semua artis di Paris. Tanpa sadar orang itu mengambil potongan baguetteku dan menelannya langsung.

Tres bien! Ammusant! Roti ini sangat enak”, Teriak orang itu. Semua mata di ruangan itu tertuju pada kamu. Aku memalingkan kepalaku berpura-pura tak mengenal pria ini. Aku memang tidak mengenalnya. Dia hanya orang yang telah menemukan buku seharga 4000 dolar. Moliere-ku!

“A.. apa kamu membawa buku saya?”, tanyaku tanpa basa-basi. Pria itu tersenyum lebar dan mengangkat tangan kanannya. “Lucas. Namaku Sebastien”. Pria berhidung mancung dengan alis yang tebal seperti kebanyakan orang perancis ini memperkenalkan dirinya.

Aku menyambut tangganya yang besar, dan ia menjabatnya hingga berayun kencang dari atas ke bawah. “Aku Tara Dupont. Apa kamu membawa yang saya minta?”, tanyaku lagi. Aku benar-benar tidak ingin berurusan dengan pria Perancis. Mereka semua sama, playboy! Seperti si Jerapah –Aku bahkan tidak mau mengucap namanya. Betapa bodohnya aku dulu berkhayal nama itu akan berdampingan denganku diundangan- Sebastien menjentik-jentikan jarinya sambil menatapku lurus.

Mademoiselle? Apa kamu baik?”, tanyanya.
Oh, pardon. Bien. Aku tidak apa-apa”, sahutku. “Kamu bisa berbahasa Indonesia?”
“Oui. Ibuku dari Indonesia. Dari kecil aku hidup bersama ibuku, beberapa tahun lalu aku kembali ke Perancis untuk melanjutkan S2 ku”, jawabnya tanpa menghilangkan senyumanya. Sesungguhnya dia terlihat ramah dengan senyum itu, tapi ---
“Apa buku ini mahal?”, tanyanya.
“Apa? Kamu mau mengurasku?”, balasku sewot.
Sebastien tertawa berbahak. ”Iya”, jawabnya. “Aku meminta balasan darimu. Mencari orang baik hati yang mau mengembalikan sebuah buku itu langka, beruntung ada aku”, lagak pria itu sambil mengangkat alisnya yang tebal.
“Baiklah. Kamu minta berapa?”, ucapku ketus.

Raut wajah Sebastien berubah serius. Senyuman yang ia umbar seolah hilang ditelan bumi. “Apa saya meminta uang darimu? Kamu mengira saya membutuhkan itu sekarang?”. Aku terdiam.


 “Maaf. Lalu kamu minta apa dari saya? Akan saya usahakan”, jawabku setelah beberapa saat hening.

“Peran”, katanya polos. “Saya ingin kamu memainkan sebuah peran untukku, sebagai pacar” –Pacar? Pria ini pasti sudah gila. Kurang dari sejam aku menemuinya dan sekarang aku harus menjadi pacarnya. Apa dia pasien rumah sakit jiwa yang kabur? Atau psikopat?-

Mataku terbelalak. Entah seperti apa ekspresiku. Terkejut. Heran. Takut. Mon Dieu! Entah seperti apa hariku selanjutnya.

Komentar