Lihat itu, bukankah itu Afifah?
Ku
dengar dia cerdas, tapi sangat pendiam. Rasanya setiap katanya punya makna
berganda. Ahh.. aku pasti jadi orang bodoh setiap sekelompok dengannya.
Memusingkan sekali!
Benarkah? Yang aku tahu, dia justru tak
punya teman. Sayang sekali, padahal dia sangat baik dan pintar. Kenapa tidak
ada yang mau menjadi temannya ya? Seharusnya dia tak perlu sesombong itu jika
memang cerdas.
***
Aku diam.
Aku, Afifah yang sombong
ini hanya bisa membatu ketika gerombolan gadis tadi lewat didepanku. Yah,
itulah yang mereka anggap pada diriku yang suka menyendiri di perpustakaan.
Walaupun sulit bagi mereka punya keberanian mengungkapkannya tapi aku sudah tahu
pasti apa isi pikiran mereka. Aku bukan paranormal atau mempunyai indra keenam,
aku hanya terkadang usil mendengar pendapat mereka. Bagaikan gunung es yang
besar, aku tak bisa membuat orang lain mendekat padaku. Terkadang aku menolak
mereka, namun saat lainnya aku membuutuhkan mereka. Andai aku bisa memberontak?
Ku teriakkan suara yang
lama terpendam dalam kesabaran.
Kau salah, kawan. Aku tak
seperti yang kau duga. Aku tak sempurna. Wanita yang mengaku dewasa ini kadang
lupa bersujud dalam malam yang sepi. Wanita ini juga menangis kesepian dalam
hujan. Wanita ini masih suka mengunyah es batu dengan asiknya. Tidakkah Istilah
dewasa pudar saat aku sadar bahwa aku sama dengan kalian. Aku juga manusia
biasa.
Kadang aku jatuh cinta,
kadang naik pitam,
Kadang kesepian,
kadang buta dan membisu.
Tapi mereka tak perlu tahu
itu semua.
Mereka cukup tahu aku yang
sombong dan tidak suka bergaul. Yang lainnya, biar ku simpan sendiri.
Komentar
Posting Komentar