Aku tiba satu jam sebelum
Kedai Ramen Takashima ini tutup. Ramen ini
dengan tipikal kebanyakan warung mie pingir jalan dengan bangku
pelanggan memanjang di stand-stand mie yang menyatu dengan kedai bagian dalam.
Nuansa merah dan emas dengan poster-poster bertuliskan aksara Hiragana dan Katakana, berpadu dengan kehangatan aroma kuah mie. Tak banyak
pelanggan di tengah malam ini membuatku cepat dilayani oleh pramuniaga muda.
Aku segera mengucap Chicken Ramyun
kepada pramuniaga yang tampak seperti umumnya murid part time.
Aku duduk dibalkon depan
kedai. Jasmine ocha yang disajikan
gratis menjadi temanku menatap langit Soeul. Kilauan bintang terlihat samar diantara
lampu-lampu jalan. Aku mengeluarkan ponsel mungil dari tas hitam jadul hadiah
dari ibuku. Aku menatap lama ponsel buatan Korea itu lama. Tak ada pesan
ataupun panggilan. Aku letakkan kembali ponsel itu dan mulai memakan Ramyun
yang sedari tadi menunggu untuk disantap.
Tanpa sadar setetes air
jatuh dari mataku. Aku terisak sendiri. Aku begitu merindukan mie instan buatan
ayah. Sekarang aku sangat butuh pelukannya. Aku ingat saat ayah membuatkanku
mie ketika aku bersedih dengan diiringi alunan radio jawa pengantar tidur. Aku
selalu menangis dalam pangkuannya sampai aku terlelap.
“Apa nuna baik-baik saja?”. Pramuniaga muda itu bertanya tidak jauh dari
meja yang sedang ia bersihkan. “Ne,
gwanchanayo. Hansahamnida”, ucapku sambil berisak lirih.
“Chincha?”. Suara nyaring itu datang dari belakang.
“Seo ji-ssi?”, tanyaku kaget melihat tetangga yang sudah aku anggap
kakakku sendiri itu berada disampingku. Wanita paruh baya dengan mantel tosca
panjang itu tampak membawa sebuah plastik hitam besar. Mata sembab kakakku ini
tertutupi maskara yang luntur. Dia baru saja menangis.
“Anyeong. Kenapa kau tidak mengajakku jika datang kesini? Sehari ini
aku mencarimu”, kata Seo Ji sambil tersenyum selebar yang dia bisa.
“Apa kau baru saja
bertengkar dengan Ji Hoo?”,tanyaku.
“Tidak, kami sudah putus.
Aku bermaksud membakar semua hadiahnya”, jawabnya sambil menatap kosong wajahku.
Sebenarnya aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi aku benar-benar tidak ingin
berfikir keras. Aku biarkan hatiku menyimpan tanya sesampainya dirumah nanti.
“Kau belum menjawab
pertanyaanku, kenapa ada disini? Dan kemana saja seharian ini?”, tanya lagi wanita
lulusan Tokyo University ini. Aku
tidak ingin menjawab panjang. Aku benar-benar lelah malam ini. Jadi aku hanya
menggeleng untuk menjawabnya.
“Baiklah. Aku tidak
bertanya lagi”, jawab Seo Ji mengerti. Sekarang di kedai ini ada dua wanita
yang sedang berduka atas kisah cintanya.
Cinta?
Aku kembali terisak. ‘Tuhan,
kenapa dimalam yang dingin tak mampu membuatku melupakan bayangnya. Benakku penuh
berisikan pria berkaca mata itu. Aku ingin sekali membenci pria yang suka dengan
kemeja merah hitam sebagai outer kaos
Bali hitam didalamnya itu. Ribuan kali aku mengatakan kejahatan-kejahatan pria
itu, tapi hati ini seakan mewajarkannya. Ternyata kepergianku yang jauh dari
pulau dewata hanyalah sia-sia.
Ponsel hitamku berbunyi.
Segera aku menyeka air mataku dan mengambil ponsel. Paling tidak itu akan membuat Seo Ji tidak bertanya lebih lama.
Nomor itu?
Untuk apa dia menghubungiku setelah satu bulan aku berusaha mati-matian
melupakannya? Dasar pria jahat, seenaknya saja dia datang dan pergi. Saat aku berusaha menghindari kenyataan, dia malah datang membawa mimpi yang lebih tinggi. Aku tidak ingin jatuh lagi!
Aku mematikan ponselku dan menjejalkannya jauh didalam saku. Aku harap Tuhan cepat mengabulkan doa tentang amnesia yang ku minta....
...
..
..
Tess..
Tess..
..
Aku menangis lagi untuk pria jahat ini.
Tes..
..
.
Komentar
Posting Komentar