Jari-jariku
membeku didepan layar laptop. Entah kemana perginya semua kata-kata yang sejam
tadi memenuhi otakku. Semua kalimat yang awalnya sudah kurencanakan akan keluar
dari blogku tiba-tiba lenyap sesampainya dirumah. Kedua alisku saling menyatu
saat aku mencoba memutar kembali semua perasaan yang ingin kujadikan ceritaku.
Tak ada, kurasa kalimat-kalimat indah tadi tak bisa menunggu sampai mereka
benar-benar tidak keluar dari kepala yang sama.
Aku meraih
secangkir kopi hitam khas Arabbica sekedar membantuku mencari tema lain yang
mungkin bisa jadi dewa penyelamat dari editorku. Rasa pahit dari serbuk hitam
kopi yang sampai sekarang masih kubenci mengingatkanku pada Pasha, mantan
gebetan yang doyan nongkrong di cafe. Aku harus mengakui bahwa aku tidak bisa move on dari pria yang aku sukai sejak
menjadi mahasiswa. Mungkin rasanya akan jauh lebih baik jika bisa menyebutnya
mantan pacar, tapi itu tak akan pernah terjadi meskipun kami pernah berciuman
sebelumnya. Itu sebabnya aku mencoba menyukai jenis kopi yang biasa dia minum
sekedar meyakinkan bahwa aku telah bisa menjadi salah satu bagian dari hidupnya,
walaupun hal itu tidaklah memberikan pengaruh apapun pada hidupnya.
Aku jadi teringat
dengan omelan Dewi tentang sarannya agar aku cepat menjalin hubungan. Dia
merasa jika aku tidak segera melepas gelas single
ever after-ku maka aku tidak akan pernah dewasa. Saat itu aku hanya bisa
mengiyakan tanpa mau tau maksud perkataannya. Aku sadar bahwa aku akan kalah
telak jika berperang argumen dengan senior jurusan Psikologis itu, bahkan aku
tidak akan pernah bisa berbohong didepannya. Aku sangat menghargai sikap
protektifnya itu, tapi aku selalu merasa sesak jika membahas asmara dengan
mahasiswi yang aktif di BEM kedokteran itu.
Cinta.
Kata pertama yang muncul dibenakku ketika siap menulis bahan cerita yang
akan dipublish besok siang. Sebagai penulis cerita fiktif, aku tidak tahu lagi
tema mana yang bisa mendongkrak ceritaku jika bukan mengenai romansa. Bisa
dikatakan bahwa aku cukup baik dalam mengimajinasikan cinta dalam cerpenku,
mungkin itu dampak buruk sebagai gadis yang tidak pernah digandengan tangannya
ketika reuni sekolah ataupun remaja yang cukup idiot karena memakai kebaya pada
prom-night tahunan.
“Pasha!”. Sekejap
aku langsung memutar tubuhku ke sumber suara itu. Teriakan lembut wanita paruh
baya kepada anak kecil yang tengah berlari mendahului langkahnya.
Satu.. Dua..
Tiga.. Empat.., aku mencoba mengatur kembali nafasku. Aku rasa jantung hampir
berhenti bergerak karena kesulitan bernafas. Ternyata nama itu masih
berpengaruh padaku. Aku berusaha menarik diri dalam realita dan kembali
berfikir kalo kami aku tak pernah memiliki hubungan apapun dengannya. Aku
putuskan kembali terpaku pada layar dengan berbagai foto artis Korea Selatan
kesukaanku.
Ting.. ting-ting..
ting.. (suara piano, maaf agak unknown)
Terdengan
dentingan halus piano diujung ruangan yang ternyata digunakan sebagai live
music. Suara denting itu bersahutan dengan gitar dan drum yang muncul
beriringan. Aku baru tahu jika cafe ini menyediakan panggung. Aku memang sangat
baru di cafe ini. Jaraknya yang jauh dari kampus dan kesukaanku makan di
angkringan daripada cafe mahal seperti ini menjadi biang keladinya. Entah
kenapa, siang hari yang terik di Solo membuatku tidak berfikir panjang untuk
datang ke Cafe ini. Sejujurnya, aku selalu penasaran dengan isi cafe bernuansa
hangat ala kekhasan Jawa dengan paduan modern ini. Kebetulan besar ketika aku
datang lebih awal dari jam makan siang sehingga tanpa sadar duduk di bangku
paling dekat dengan panggung.
(30
menit kemudian..)
Aku berjalan ke kasir
dengan penuh senyum lebar. Adegan demi adegan tertulis rapi dibantu dengan
alunan musik dan suasana nyaman dari cafe ini. Kali ini aku bersedia melepas
jatah makan siangku di angkringan selama seminggu untuk membayar di cafe ini.
Selesai urusanku dengan kasir, muncul suara memanggil namaku dari belakang.
“Mbak Devita..!
Tunggu sebentar”, teriak salah satu barista cafe.
Aku menghentikan
langkahku. “Ada apa ya mas?”
“Ini..”. Barista
muda itu memberikan sebuah kartu nama dengan sebuah nomor dibelakangnya -Bondan? Aku tidak ingat jika mengenal nama
ini-. “Oh, iya. Mbak, mas yang memberi kartu nama itu telah membayar kopi
mbak. Jadi kami mengembalikan uang mbak. Kata mas itu, mbak harus menelfonnya
sebagai balas budi”, jelas barista itu sambil menyodorkan uang dua puluh lima
ribu.
“Bondan?”
***
“Devita! Penulisku
yang brilian! Bagaimana bisa kamu punya otak secemerlang itu?!”, teriak Pak
Bagus dari ujung telefon. Aku tidak merespon sikapnya yang berlebihan ini.
Lebih tepatnya belum siap merespon apapun. Aku menyipitkan mataku untuk melihat
jam. 03.00 AM?! Wah, editorku satu ini memang tidak pernah memberiku waktu
untuk hidup sebagai manusia normal.
“Cerpenmu laris
besar! Ada salah satu penerbit yang ingin menjadikannya bagian dari buku
serinya. Kita akan untung besar!”, ungkapnya bersemangat. Tiba-tiba sambungan
telefonnya mati. Aku mengecek layar ponselku dan memastikan bukan handphone ku
yang low batheray. Sedetik kemudian, editorku mengirim pesan bahwa pulsanya
habis. Aku tertawa puas.
Nada khas ponsel
n*kia muncul lagi.
“Halo, Pak Bagus.
Saya sadar bahwa saya sangat berbakat. Saya juga berterima kasih atas perhatian
bapak yang luar biasa ini. Namun, akan amat jauh lebih baik jikalau bapak
memberikan saya waktu beristirahat yang cukup”, ocehku panjang.
“Halo? Aku bukan
Bagus”. Suara pria yang terdengar dalam membuka mataku lebar. Aku tidak
mengenal suara ini. Aku langsung menatap layar telfon dan tidak berhasil
menemukan nama pemilik nomor tak dikenal ini.
“Maaf. Saya mengira..
Tapi, ini siapa ya?”
“Aku Bondan. Aku
yang membayar bill-mu minggu lalu.
Komentar
Posting Komentar